Teman, ini tak ada kaitannya sama sekali dengan soal maag. Ini kilas balik 2 dasa warsa yang lalu sebelum saya sakit. Tidak tepat sih hitungan tahunnya, kira-kira saja. Apa manfaatnya saya mengangkat tema yang tak berhubungan dengan sakit maag ini ? Ya agar kalian tak menjadi bosan aja dengan blog ini. Tiap hari yang ditemui hanya artikel-artikel soal maag melulu. Emangnya tak ada cerita lain ?
Dulu, 2 dasa warsa yang lalu, saya melayani orang-orang sakit yang pada datang kerumah. Mereka datang meminta tolong, untuk penyakit mereka saya obati. Saya bukan praktisi kesehatan. Bukan bu bidan. Bukan orang pintar. Dan sekalipun tak pernah mengikuti pelatihan kesehatan apapun dan dimanapun.
Saya hanya senang membaca apapun yang berhubungan dengan kesehatan. Sejak masih SMP sudah sangat tertarik dengan Ilmu Hayat, tentang penyakit dan anatomi tubuh manusia. Nilai ilmu Hayat saya sering mendapat terbaik di kelas, waktu di SMP ha ha…10 min.
Sampai tuapun saya tetap menyukai tentang rahasia tubuh manusia dan rahasia kehidupan yang melingkupinya. Apapun yang menjadi minat saya, saya akan terus menggelutinya hingga saya menguasainya. Itulah kebiasaan saya. Hingga saya tua kini.
Hingga suatu hari saya bertemu dengan orang gaib yang mengamanahi saya agar mulai hari itu, saya mau ataupun tidak, siap ataupun tidak, harus mulai menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau uang jelas tak mungkin karena saya bukan orang kaya, bahkan saya termasuk kelas masyarakat tak mampu. Baru tahu ya ? He he tapi saya bukan type yang minta dibelaskasihani kok. Kecuali belas kasihan dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Orang-orang yang datang meminta pertolongan sakitnya kepada saya, bukan hanya dari kalangan orang-orang kecil seperti level saya, namun sampai yang berpangkat jenderal dan orang-orang level ataspun ada yang meminta pertolongan kepada saya. Hanya bedanya, bagi masyarakat kelas menengah kebawah mereka yang mendatangi saya, namun dari kelas atas biasanya mereka menjemput saya dengan fasilitas yang diberikannya kepada saya , untuk bisa sampai ke rumahnya di bilangan rumah elite di Jakarta.
Saya tak punya bekal apa-apa untuk membantu mengobati sakit mereka yang datang kerumah saya, ataupun mereka yang harus saya datangi kerumahnya. Bekal saya hanya “Bismillah” saja dengan 1000 keyakinan, bahwa Asma Allah sungguh Maha Besar dan “lebih besar" dari segala sakit penyakit yang mereka derita ataupun berjuta masalah yang menjadi persoalan mereka.
Dan waktu itu, media yang saya pakai untuk mengobati mereka adalah “Jamu Rebus” ramuan saya sendiri. Dari jamu masuk angin hingga jamu untuk kanker saya ramu sendiri. Harganya relatif sangat murah. Untuk ukuran saat ini, bila untuk kanker, perbungkus sekali rebus hanya Rp.100.000,- dan biasanya saya mengemas dalam 1 paket 10 bungkus, untuk minum selama satu bulan, Alhamdulillah rata-rata hanya habis 1 paket, kanker mereka sudah sembuh total, jika di cek ke laboratorium sudah tak tersisa 1 cel kankerpun. Saya sendiri TAKJUB kepada kemurahan Allah yang ada didalam jamu ramuan saya. Yang hebat bukan jamu saya, tapi berkah Allah yang ada dalam jamu yang saya ramu.
Sayang, sejak Pasar Purworejo terbakar habis, saya teramat sulit mendapatkan bahan ramuan untuk jamu saya, sehingga sekarang saya tak meramu jamu lagi. Kecuali itu fisik saya, setelah sembuh dari sakit maag ini, sudah tak mampu lagi meramu jamu. Karena untuk meramu jamu memerlukan stamina fisik yang tinggi, he he takut kambuh lagi maagnya, masih trauma teman !
Nah suatu hari ada seorang bapak dari pelosok desa ditepi pantai selatan Purworejo, usia seputar 45 tahun, datang kerumah. Kedatangannya bersama anak gadisnya yang perutnya katanya sakit sekali terus menerus setiap hari. Katanya sakitnya sudah berbulan-bulan, dan telah berobat kerumah sakit dan kemana-mana, namun belum sembuh juga. Kian hari katanya makin bertambah sakit.
Anak gadis itu badannya kurus kering, mukanya sangat pucat, dan kelihatan kalau menahan sakit. Orang-orang yang antri diluar ruangan praktek, terdengar mempersilahkan bapak beranak itu untuk langsung saja periksa duluan tak usah antri. Rupanya para pasien yang antri rela melepaskan hak mereka untuk diperiksa lebih dulu, melihat anak gadis itu kesakitan yang sangat.
Sayapun menyapa bapak beranak itu dengan ramah seperti kepada yang lain. Tanpa membeda-bedakan. Anak gadis itu kelihatan sekali menahan sakit. Ia saya suruh berbaring di dipan tempat pemeriksaan pasien. Suhunya saya pegang dahinya agak hangat. Namun kaki dan tangannya dingin berkeringat, tanda bahwa ia menahan sakit, dan dalam tubuhnya sedang terjadi mekanisme metabolisme tubuh yang tidak stabil. Belum ditanya mana yang sakit, anak gadis itu sudah membuka baju blousenya, dan memperlihatkan bagian perutnya yang sakit.
Astaghfirullahaladzim…saya tak tega melihat perutnya. Terdapat benjolan sebesar telor angsa yang sangat keras ketika saya pegang, dan berwarna ungu tua kusam. Bapaknya menahan nafas ketika anak gadisnya saya periksa. Meski saya bisa memastikan bahwa itu adalah kanker perut, namun saya berusaha menyembunyikan kegelisahan hati saya dari mereka. Didepan pasien saya harus bersikap tenang.
Setelah saya periksa, anak gadis itu saya persilahkan untuk keluar dari ruangan periksa, sementara bapaknya saya minta untuk tinggal sejenak diruang periksa untuk mendengarkan penjelasan saya.
Saya tidak katakan terus terang kepada bapak tersebut bahwa anaknya menderita kanker perut, bapak tersebut, begitu melihat anaknya sudah keluar dari ruangan langsung berdiri dari kursinya dan bertanya kepada saya “Bu anak saya kanker ya Bu, iya ya Bu ?”
Saya terperangah bingung. Jujur apa tidak yah ? Lalu saya tanyakan kepada Bapak itu :”Menurut Bapak sendiri bagaimana Pak ?”. Bapak itu menjawab :”Kanker Bu, kata beberapa dokter yang pernah memeriksa dan hasil pemeriksaan laborat memang kanker”
Saya balik bertanya :”Loh Bapak sudah tahu kalau sakit putri Bapak adalah kanker kenapa Bapak masih bertanya kepada saya ?” Tanya saya kemudian kepada Bapak itu.
“Iya Bu untuk memastikan, bahwa mungkin bukan kanker Bu” katanya. Sedih rasanya merasakan kesedihan Bapak itu.
Akhirnya saya katakan :”Pak, apapun sakit putri Bapak, itu tak penting. Yang penting nanti saya obati dengan jamu saya, kita berdoa bersama-sama mudah-mudahan sakit putri Bapak akan sembuh, bukan begitu Pak?”
“Iya Bu, tapi bisa sembuh ya Bu ? Anak saya bisa sembuh kan Bu” tanyanya masih sangsi. “Insya Allah Pak, jangan kuatir, asal Bapak yakin kepada Kebesaran Allah, insya Allah, separah apapun sakit putri Bapak, akan sembuh”.
Saya kembali ingat akan kebesaran Allah. Dengan yakin saya mohon RidhoNya untuk kesembuhan anak gadis itu melalui jamu yang saya ramu.
Saya memberikan hanya 2 bungkus jamu, kebetulan hari itu jamu untuk kanker yang paketan sedang habis, Alhamdulillah masih tersisa 2 bungkus.
“Pak mohon maaf, ini harusnya jamunya 1 paket terdiri 10 bungkus, namun ini yang paketan sedang habis, dan ini ada sisa 2 bungkus bisa dibawa pulang dulu, nanti 6 hari saya tunggu Bapak datang kesini lagi, tidak usah dengan putri Bapak tak apa-apa. Ya Pak?” Kata saya kepada Bapak itu, sambil memberikan jamu kanker untuk putrinya.
“Aturan minumnya sudah ada didalamnya pak”. Ketika menerima jamu lalu Bapak itu membaca label aturan minum yang ada didalam bungkus jamu. Yang tulisannya kelihatan dari luar karena jamunya saya kemas dalam bungkus plastik transparan.
Singkat kata, Bapak dan anak gadisnya pamit pulang, dan saya melanjutkan menangani pasien-pasien yang antri dibelakang Bapak itu.
Suatu hari yang lain, selang 1 minggu dari kedatangan Bapak dan anak gadisnya itu, datang seorang ibu setengah baya, yang datang dengan keluhan kanker payudara. Singkat kata setelah saya periksa, baik secara fisik memeriksa payudaranya, maupun dari aura yang keluar dari payudaranya, memang tanda-tandanya positip kanker payudara. Tapi ibu itu kelihatan tabah.
“Bu saya memang kanker payudara, tapi sudah berobat ke Rumah Sakit harus operasi Bu, saya takut Bu. Dan sudah saya obatkan kemana-mana, tapi belum sembuh. Kalau malam saya tak bisa tidur Bu, sakit sekali.” keluh Ibu tadi.
Saya sangat iba, sekaligus salut pada ketabahannya. “Lha ibu kok tahu datang kesini dari siapa?” Tanya saya. “Itu lho Bu, ada tetangga saya yang anak gadisnya kanker perut, katanya seminggu yang lalu berobat ke Ibu diantar sama Bapaknya, alhamdulillah dia sudah sembuh Bu, terus saya dikasih tahu suruh berobat kesini, mudah-mudahan sembuh seperti tetangga saya ya Bu ?” ungkapnya penuh pengharapan kepada saya.
“Insya Allah ya Bu, yang yakin saja kepada Kemurahan Allah, ibu akan sembuh”, sambil saya memberikan 1 paket jamu kanker kepadanya.
“Ini diminum sesuai aturan yang ada didalamnya ya Bu, dan taati pantangan yang juga sudah tertulis didalamnya. Hindari daging-dagingan, bakso, mi instan, makanan kaleng, dan segala bumbu masak.” Kata saya.
“Insya Allah Bu, saya akan jalankan dengan baik” Jawab ibu itu.
“Oh ya Bu, tolong sampaikan pesan saya kepada Bapak tetangga ibu, agar mengambil sisa kekurangan jamunya agar putrinya tidak kambuh lagi, kemarin saya memberikan jamunya masih kurang” Saya berpesan kepada Ibu yang menderita kanker payudara itu. Dan ibu itupun mengangguk-anggukkan kepalanya :”Insya Allah Bu akan saya sampaikan nanti”.
Tiga tahun kemudian sesudah itu (kalau tak salah)…
Tiba-tiba ingatan saya melayang kepada ibu yang menderita kanker payudara itu. “Ibu itu bagaimana ya kabarnya ? Sudah sembuh atau belum ya ?”
Tiba-tiba saya rindu sekli kepada ibu tersebut. Sayang kepada para pasien, saya tak pernah meminta alamat lengkapnya. Selalu didalam buku tamu hanya menuliskan nama kotanya saja.
Saya masih ingat. Desanya Nggesing. Desa paling selatan di kabupaten Purworejo, di pesisir pantai selatan. Namanyapun lupa ibu siapa. Saya ingin sekali kesana. Demikianlah saya, kalau sudah mempunyai keinginan, terutama jika ingin pergi ke suatu tempat, atau kangen dengan seseorang terbayang terus. Bayangan baru hilang, ketika bisa bertemu dengan orangnya.
Tapi waktu itu, saya tak mungkin pergi menemui rumah ibu yang kanker payudara itu. Waktu itu saya sedang hamil 6 bulan, putriku satu-satunya. Sedangkan saya pernah keguguran 8 kali. Bisa dibayangkan betapa ketika saya mengandungnya, bagaikan memelihara permata mustika, saking takutnya keguguran lagi. Hati-hati sekali segalanya, bersikap, berpikir dan melakukan apapun super hati-hati.
Jadi saya hanya bisa membayangkan wajah ibu tersebut setiap kali. Aneh sekali, bayangan ibu itu tak bisa saya singkirkan dari ingatan saya.
Suatu siang, saya kaget setengah mati ketika diluar pintu terdengar suara salam, seperti suara ibu yang sedang saya harap-harap. Dan betapa kagetnya, ketika saya buka pintu, ternyata yang ada didepan pintu adalah benar-benar ibu kanker yang sedang saya pikirkan.
Air mata saya meleleh tak mampu saya tahan. Ibu itu saya peluk sejadi-jadinya, betapa bersyukurnya saya kepada Allah yang telah mengirim ibu itu datang kerumah saya. Saya hanya ingin mengetahui kabarnya, bagaimana perkembangannya setelah minum jamu dari saya, sembuhkah, atau bagaimana.
Ibu itupun ikut menangis sejadi-jadinya. Kami menangis berpelukan erat. Tapi saya tak tahu apa yang ditangiskannya. Apakah karena terharu melihat saya menangis memeluk erat dirinya ?
Tanpa menunggu lama, sebelum kami sempat berbincang, segera saya buatkan ibu tersebut teh hangat encer yang tak begitu manis, dan hidangan ala kadarnya. Wajahnya kelihatan hitam seperti baru saja terpanggang matahari ! Kelelahan !
Sebelum sempat saya tanya kabarnya, ibu itu segera menceritakan bahwa anak gadis tetangganya telah sembuh kanker perutnya hanya dengan 2 jamu yang saya berikan. Dan sampai sekarang tak pernah kambuh lagi.
Demikian pula dengan dirinya, ibu itu bersyukur sekali hanya dengan beberapa bungkus jamu yang saya berikan dulu, juga sembuh dan tak pernah kambuh lagi. Ia mengatakan bahwa hanya minum 3 bungkus, dan sisa selebihnya ia berikan pada saudaranya yang juga menderita keluhan yang sama, tapi bukan kanker payudara, melainkan kanker rahim, katanya juga sembuh sampai sekarang.
Saya mendengarkan cerita ibu itu dengan takjub ! takjub kepada Kebesaran dan Kemurahan Allah yang tak henti-hentinya. Ya Allah Ya Rasulullah SAW.
“Alhamdulillah…saya bisa bertemu lagi dengan ibu Ninieeeek…, Alhamdulillah…” katanya berulang-ulang sambil mengusap air matanya yang selalu meleleh setiap mengucapkan kata itu.
Ibu itu lalu mulai bercerita, bahwa sejak minum jamu dari saya sembuh dan tak pernah kambuh lagi. Namun 2 hari yang lalu, ia diminta membantu memasak ditempat orang hajatan.
Karena rumahnya jauh, ia makan apa saja masakan yang ada ditempat tetangganya yang hajatan tersebut. Masakan yang selama ini dihindarinya seperti nasehat saya. Mie instan, daging-dagingan, bumbu masak, bakso dan minyak-minyakan tak pernah disentuhnya.
Ketika itu ia padahal hanya makan dengan sayur ongseng kubis tempe dengan lauknya bergedel kentang yang semuanya dimasak dengan bumbu masak. Ia berharap dengan makan melanggar sedikit pantangannya tak akan berakibat apa-apa pada sakit kankernya.
Ternyata Allah berkehendak lain, benar, malam harinya pada payudaranya timbul reaksi kembali sakit, senut-senut tak hilang-hilang. Saking takutnya ia berniat untuk berobat lagi kepada saya. Maka iapun pagi pagi buta sudah berangkat dari rumahnya untuk mencari rumah saya, ke alamat saya dimana dulu ia berobat.
Ternyata Ya Allah, selama 3 tahun itu saya sudah tiga kali pindah-pindah rumah kontrakan. Karena kontrakan selalu naik setiap tahunnya, saya tak kuat membayar, sehingga saya mencari kontrakan bulanan saja yang bisa terjangkau oleh keuangan saya.
Sehingga ibu itu terus mencari saya, dari kontrakan yang satu kepada kontrakan saya yang lain setelah bertanya kesana kemari kepada orang yang dijumpainya.
Nah inilah yang paling mengharukan.
Kontrakan saya yang terakhir ini berada di pertengahan jalan antara kota Kutoarjo ( sebuah kota kecamatan yang terus berkembang ) dengan ibu kota kabupaten Purworejo, yang berjarak 12 km.
Ternyata sudah turun naik kendaraan angkot tak juga bisa diketemukan rumah kontrakan saya, maklum saya disitu pindahan baru, jadi belum banyak yang kenal.
Akhirnya setelah hampir putus asa mencarinya, ibu itu mencari dengan berjalan kaki dari kilometer pertama jalan Kutoarjo – Purworejo dengan tekad baja. Ia tak akan pulang kerumahnya sebelum ketemu dengan Bu Niniek !
Ibu itu berjalan dari rumah kerumah bertanya tentang rumah bu Niniek. Orang hanya menunjukkan ancer-ancernya dan tak ada yang tahu persis dimana rumah bu Niniek.
Sudah lebih dari 17 km ditempuhnya perjalanan belum juga ketemu rumah bu Niniek. Lalu dengan tekad baja, ia mencarinya kembali balik kanan dari Purworejo menyusuri jalan yang tadi dilewatinya kearah kota Kutoarjo, akan tetapi melewati jalan sebelah sisinya, mencari deretan rumah yang berada berhadap-hadapan dengan deretan rumah yang tadi sudah disisirnya.
Alhamdulillah…setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, berjalan kaki tak kurang dari 24 kilometer, terpanggang sinar matahari tanpa payung, didasari dengan kemauan yang keras, tekad baja dengan doa yang sungguh-sungguh kepada Allah Yang Maha Mengatur kehidupan, bertemulah ibu itu dengan rumah saya ! Padahal dari rumahnya hingga mencapai tempat pangkalan angkot yang ditumpangi ke kota Purworejo, ibu itu harus berjalan kaki sangat jauh, entah berapa kilometer saja yang telah ditempuhnya.
Pantas saja waktu datang ketika itu mukanya seperti gosong, kuyu dan sangat kelelahan. Ternyata ibu dari desa yang sangat jauh itu, telah menempuh perjalanan hingga puluhan kilometer hanya untuk mencari saya. Subhanallah...
Pantas saja waktu datang ketika itu mukanya seperti gosong, kuyu dan sangat kelelahan. Ternyata ibu dari desa yang sangat jauh itu, telah menempuh perjalanan hingga puluhan kilometer hanya untuk mencari saya. Subhanallah...
Subhanallah…Allah Hu Akbar…keajaiban telah terjadi. Allah telah mempertemukan 2 makhluk yang saling merindukan dengan kepentingan yang berbeda. Saya yang ingin tahu kabarnya Ibu itu, dan Ibu itu yang ingin mencari saya, mencari jamu yang dulu menjadi lantaran kesembuhan sakit kankernya.
Saya merindukan mendengar kabarnya ibu itu, dengan segala asbabnya Allah tetapkan ibu itu untuk mencari saya. Allah beri kemudahan kepada saya, saya tak perlu mencari ke rumah ibu itu, namun ibu itu telah Allah hadirkan kerumah saya.
Dan meskipun harus menempuh jarak yang tak kurang dari 24 km, Allah kuatkan tekad ibu itu untuk tetap terus mencari saya sampai ketemu. Itulah cara Allah bekerja, selalu MENAKJUBKAN bagi orang yang beriman kepadaNya. Oleh karena itu, kalian yang sakit dan belum sembuh-sembuh juga, tetap teruslah beriman kepada Allah.
Karena kalau Allah sudah berkehendak apapun bisa terjadi dalam sekejab ! dan dengan penuh keajaiban !
Dan saat ini, jika kalian sedang sakit dan belum sembuh-sembuh, janganlah meratapi penderitaan kalian, namun tetaplah berikhtiyar dengan penuh iman.
Lalu, jika saat ini kalian sedang dikaruniai dengan kesehatan yang baik, syukurilah nikmat sehat kalian, manfaatkan nikmat sehat kalian untuk melakukan apapun dengan niat ibadah, sehingga kebaikannya untuk kebahagian kalian di dunia maupun akherat.
Lakukan kebaikan untuk dunia dan untuk akherat kita. Karena akherat tempat sebaik-baik dan sekekal-kekal kita kembali. Semoga artikel ini menambah keberkahan bagi kita sekalian. Amin Ya Rabbal’Alamiin.
Alhamdulillahirabbil’alamiin.
Salam Penulis,
Niniek SS
Labels:
Kisah Nyata,
Renungan
Thanks for reading Dua Puluh Empat KM Jalan Kaki Mencari Bu Niniek. Please share...!
0 Komentar untuk "Dua Puluh Empat KM Jalan Kaki Mencari Bu Niniek"