Menurut pengamatan saya selama ini, ketika kita sedang sakit, dampak dari mengeluh justru akan menambah parahnya penderitaan kita.
Tentu dimaklumi, mengeluh memang paling enak jika kita sedang sakit. Toh tak ada yang dirugikan ketika sedang mengeluh, sepertinya perasaan kita menjadi lega dengan kita mengeluhkan apa yang sedang kita rasakan. Ya kan ?
Ini hanyalah perasaan semu. Sejatinya, ketika kita mengeluh, kita sedang depresi, tak mau menerima kenyataan atas apa yang sedang terjadi dalam hidup kita, namun tak berdaya untuk bangkit dari keadaan.
Dalam saat kita stress atau depresi, banyak timbul radikal bebas dalam tubuh kita yang menjadi biang keladi timbulnya berbagai penyakit dalam tubuh. Bila sedang sakit, lalu kita mengeluh, maka bukannya sakit kita menjadi sembuh, justru semakin bertambah parah dengan munculnya radikal bebas baru akibat kita mengeluh.
Ini saya amati dan saya rasakan sendiri, bukannya katanya-katanya. Buktinya sehabis saya mengeluhkan penderitaan yang saya alami, entah kepada suami atau kepada putri saya atau kepada tamu, ada penyesalan yang sangat direlung hati yang paling dalam, entah apa sebenarnya yang sedang terjadi. Sepertinya Allah sangat tidak berkenan jika kita mengeluhkan keadaan kita, sepertinya kita mengadukan Allah kepada orang lain... Ini dari sisi ruhani yang saya alami.
Kemudian dari sisi fisikpun tidak jauh berbeda. Sehabis mengeluhkan keadaan, bukannya sakit bertambah baik, kemudian malah bertambah parah keadaannya.
Jadi stop untuk mengeluh. Mengeluh menurut saya sama saja kita sedang menghujat keadaan. Lalu, jika kita mau berfikir, siapa sih yang memberi kita sehat, sakit, senang, susah ? Bukankah hanya Allah Swt ?
Mengapa kita diberi sakit ? Itulah yang perlu kita fikirkan ! Bukan mengobati dampaknya saja dengan obat dan segala macam ikhtiar lahir, namun yang terlebih penting adalah mencari sumber penyebabnya dan mencabut bersih sampai seakar-akarnya dari tubuh atau dari kehidupan kita.
Ini pengalaman saya, dan saya sedang terus menasehati diri sendiri agar selalu waspada dan tidak lengah terhadap nafsu diri.
Saya menyadari bahwa jasmani dan ruhani kita mempunyai segala macam hak atas kita. Hak makan, hak istirahat, hak berbahagia, hak digerakkan agar kita sehat, hak berbuat baik, hak berfikir dan lain-lain. Nah jika kita runut ke belakang, sudahkah kita memberikan hak-hak mereka dengan baik ?
Tubuh atau jasmani butuh nutrisi dan vitamin, butuh istirahat, butuh olah raga. Ruhanipun demikian, butuh makanan yang bergizi juga seperti tubuh, butuh siraman seperti tanaman. Jika jasmani dan ruhani tidak kita berikan hak-hak mereka sebagaimana seharusnya, pasti akan pincang, tubuh kita yang sakit atau ruhani kita yang akan sakit ? Atau malah kedua-duanya ?
Misalnya, ini contoh yang mudah kita lihat di sekeliling kita.
Seseorang yang hanya mengejar ambisi dunia, dari pagi buta hingga larut malam mencari harta, mengembangkan bisnisnya agar mencapai puncak kejayaan. Yang dikejarnya hanya harta, harta dan harta, sukses, sukses dan sukses dunia. Ia melupakan jasmani dan sekaligus ruhaninya. Ia kadang lupa makan, lupa istirahat dan tak berpikir untuk akheratnya !
Seseorang yang hanya mengejar ambisi dunia, dari pagi buta hingga larut malam mencari harta, mengembangkan bisnisnya agar mencapai puncak kejayaan. Yang dikejarnya hanya harta, harta dan harta, sukses, sukses dan sukses dunia. Ia melupakan jasmani dan sekaligus ruhaninya. Ia kadang lupa makan, lupa istirahat dan tak berpikir untuk akheratnya !
Apa yang terjadi dengan orang-orang semacam ini ? Setelah menimbun harta, tiba-tiba ia jatuh sakit, yang peralatan medis tak mampu menemukan penyakitnya. Berobat ke seluruh dunia. Kepiawaian dokter dan rumah sakit tak ada yang mampu menangani penyakitnya hingga sembuh.
Hartanya yang menumpuk tak mampu lagi bicara apa-apa.
Ketika saat sakaratul maut tiba, ia yang mengaku beragama Islam tak mampu menirukan kalimah-kalimah thoyyibah yang dibisikkan ketelinganya oleh keluarganya. Mengapa ? Karena sepanjang hidupnya ia tak menjalani sholat, tak pernah mengenal jumatan yang sangat indah di masjid, boro-boro mengenal huruf-huruf dalam Al Qur’an dan melafalkannya. Mengenal agamanyapun tidak, apalagi menjalani syari’at dan hakekatnya ?
Selama hidupnya tak pernah memberikan kasih sayang kepada keluarganya, karena jarang bertemu. Dunianya sibuk dengan hartanya, ia tak pernah berpikir bahwa anak isterinya perlu disapa, perlu dibimbing dan diarahkan agar menjadi keluarga yag sakinah mawaddah warohmah.
Ia hanya berpikir bahwa harta adalah segalanya. Asal ia mampu memberikan harta atau kemewahan kepada keluarganya sudah cukup. Ketika ia sakaratul maut bagaimana nasib dirinya kemudian ? Ketika nyawanya hendak dicabut oleh malaikat, ruhaninya meronta menolaknya karena ia masih sayang dan tak ikhlas meninggalkan hartanya yang berjibun didunia.
Antara malaikat pencabut nyawa berebut dengan syaiton yang menguasainya, karena syaiton merasa laki-laki itu ada dipihaknya, selalu menurut kepadanya ketika di dunia.
Dan takdirpun berlangsung. Allah Swt berkuasa atas segala sesuatu, laki-laki itupun meninggal dengan penuh kesengsaraan, tubuhnya menderita kesakitan yang luar biasa, sedangkan hartanya yang selama ini diabdinya tak mampu menolong apapun padanya. Sedangkan ia tak mempunyai bekal yang cukup untuk menempuh perjalanan ke kampung abadinya di akherat. Yang ditinggal di dunia hanya merasa kehilangan sebentar ketika kemudian ia meninggal. Toh hartanya tak bakal habis untuk kehidupan mereka.
Ketika tanah pekuburannya masih basah, anak isterinyapun sudah melupakannya, karena ketika ia hidup di dunia tak pernah memberinya kasih sayang yang cukup kepada anak isterinya, sehingga ketika ia meninggal, tak ada kesan yang mendalam atas dirinya sebagai kepala keluarganya.
Anggota keluarganya tak ada yang sadar dan mengerti untuk mendoakannya karena selama sang ayah masih hidup tak pernah membimbing dan menasehatinya. Inilah contoh nyata sebuah kerugian dunia dan akherat.
Dunianya hanya mendapat harta yang tak barokah, akheratnyapun tak kepegang karena selama ini memang memang ia tak mencarinya. Inilah salah satu contoh kehidupan dimana seseorang tidak memberikan hak jasmani dan ruhaninya dengan baik, hanya kerugian yang akan dituainya pada akhirnya.
Mudah-mudahan kita tidak menjadi golongan orang-orang yang demikian.
Jika kita sakit belum sembuh-sembuh, kita masih bisa bersyukur, penyakit kita jelas maag sehingga kitapun tak perlu mendiagnose sakit kemana-mana yang akan menghabiskan biaya. Ada lho orang sakit yang benar-benar tak bisa terdeteksi oleh dokter dia sakit apa, aneh kan ? Hanya untuk mendeteksinya saja sudah menghabiskan energi dan biaya, belum yang untuk berobat ?
Lalu jika kita pikir lagi, waktu yang kita jalani saat sehat dibandingkan waktu ketika kita sakit, masih lama yang mana ? Sakit kita atau sehat kita ? Tentu sehat kita dong…
Kita juga harus bersyukur dikelilingi orang-orang yang menyayangi kita, mungkin suami kita, isteri kita, anak-anak kita atau yang lain. Yang peduli kepada kita dan mau merawat kita dengan sabar dan ikhlas. Mengantar kita berobat ke dokter. Mencarikan obat. Membantu kita mandi. Memasakkan makanan untuk kita. Mencarikan kue yang cocok untuk kita. Membersihkan tempat tidur kita serta membersihkan kamar kita, karena kita tak bisa melakukannya sendiri. Jika maag kita sudah parah, bukankah semua-semua perlu dibantu oleh orang lain bukan ?
Nah, cobalah kita renungkan bersama, apakah semua kebaikan yang datang kepada kita adalah suatu kebetulan. Semua ada yang menggerakkan, adalah Allah Yang Maha Kasih Sayang kepada seluruh ciptaanNya.
Jika kita tak mensyukuri nikmat yang seharusnya kita syukuri, maka semua nikmat yang telah kita terima akan dicabutNya dan berganti dengan siksa yang amat pedih.
Banyak lho, penderita yang menghubungi saya, mereka menyampaikan keluhannya, terkapar menderita sendiri di rumahnya.
Ada seorang ibu tengah baya, yang mengeluh, ia tak ada yang merawatnya, apa-apa yang seharusnya dibantu terpaksa dilakukannya sendiri. Membeli obat, mencari kue atau menyiapkan makan, membersihkan diri semuanya dilakukannya sendiri, padahal ibu ini mempunyai suami, dan anak-anak. Tetapi tak ada yang peduli.
Ternyata ibu ini kemudian bicara jujur kepada saya, bahwa dulu ketika ia sehat, ia tak peduli kepada suami dan anak-anaknya. Sehingga ketika ia sakit maka wajar kalau suami dan anak-anaknyapun membiarkan ia menderita sendirian.
Sayapun mempunyai teman yang tipenya tak peduli kepada keluarga. Ekonominya sih lebih dari cukup. Namun suami dan anak-anaknya sering kelaparan, karena pada waktunya makan belum ada nasi, belum ada sayur, anak-anaknya pulang sekolah dibiarkan membuat mi instan setiap hari. Dan suaminya dibiarkannya selalu jajan di Rumah Makan.
Padahal suaminya selalu memberinya uang lebih untuk belanja, namun jarang sekali teman saya ini memasak untuk keluarganya. Ia makan hanya untuk dirinya sendiri. Jika makan di luar tak pernah ingat untuk membawakan suami dan anak-anaknya makanan ke rumah
Jika ia sakit, anak-anak dan suaminyapun tak peduli kepada teman saya ini. Salah seorang anaknya disuruh mencarikan tukang urut, ogah-ogahan, anak yang lainnya diminta membuatkan minum teh saja tak segera beranjak dari duduknya yang lagi asyik main hp, hingga teman saya terpaksa membentak anaknya hanya untuk mendapatkan segelas teh manis. Ya Allah Ya Robbi astaghfirullahaladhziim..
Dengan fenomena apa yang saya sampaikan di atas, mudah-mudahan bisa menjadi cermin bagi kita bersama. Bahwa masih sangat banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita yang patut kita syukuri, yang insya Allah bisa menjadi musabab atau jalan kesembuhan yang kita nanti-nantikan. Aamiin..
Yuk kita belajar bersyukur !
Salam Syukur Selalu,
NiniekSS
Salam Syukur Selalu,
NiniekSS
Sy sedih Bu....suami saya belakangan dua tahun ini br sholat lima waktu...tp tidak pernah baca Alquran....jadi imam sholat sud bisa tp msh terbatas u surat surat pendek...sy sedih...
BalasHapusMbak Candra,
BalasHapusSholat, Membaca Al Qur'an, dan yang berhubungan dengan ibadah adalah soal hidayah. Wajar jika mbak Candra bersedih. Bersyukurlah mempunyai suami yang sudah mau sholat. Dan bersyukurlah sudah mau menjadi imam sholat bagi keluarga meskipun mampunya dengan bacaan surat-surat yang pendek. Allah menilai dari kesungguhannya beribadah bukan dari panjang pendeknya bacaan surat.
Doakan suami agar kedepan diberi tambahan ilmu agamanya oleh Allah SWT. Aamiin. Bersyukur utk segala pencapaian kebaikan, dan berdoa untuk segala yang masih dibutuhkan. Insya Allah.
Salam,