MELIHAT HARTA KARUN
Harta karun masih menjadi topik yang selalu menarik untuk dibicarakan. Walau bagi sebagian orang diantara mereka ada yang percaya dan tidak.
Saya akan menceritakan kisah, ketika kecil dulu saya pernah melihat suatu harta karun. Dan ternyata kisah itu berlanjut hingga sekarang ini. Wallahua’lam…
Kejadiannya kurang lebih 50 tahun yang lalu ketika saya masih bersekolah di Sekolah Dasar. Jaman dulu tidak ada tukang jualan jajan yang berjibun seperti sekarang ini. Dulu satu-satunya makanan yang dijual di sekolah saya hanyalah ‘combro’ makanan dari singkong yang diparut, kemudian dalamnya diberi bumbu tempe yang agak pedas lalu digoreng. ‘Combro’ ini dijual oleh mbok Bon, isteri tukang kebon sekolah yang sangat telaten membuatnya setiap hari. Dan ini konon sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa pernah bosan.
Ketika lonceng istirahat berbunyi, anak-anak akan segera menyerbu ke tempat mbok Bon, takut tak kebagian combro. Tapi saya tetap santai, karena walau datang belakangan saya selalu kebagian combronya, dan anehnya mbok Bon tak pernah mau dibayar, alias gratis. Semula saya heran, mengapa mbok Bon tak pernah mau dibayar ? Selidik punya selidik, ternyata sebelumnya, Ibu saya sudah menitipkan uang kepada mbok Bon, jika sewaktu-waktu saya membeli combro. Ibu saya adalah guru SD dimana saya sekolah…pantas saja saya selalu gratis setiap kali membeli combro.
Kecuali combro yang dijual mbok Bon, didepan sekolah ada sebuah rumah yang kanan kirinya dipenuhi pohon jambu biji tapi tidak ada bijinya, yang buahnya dijual tiap hari. Setiap hari pemilik rumah selalu memetik jambu bijinya sebakul sedang. Jadi sebagian anak ada yang membeli combro dan sebagian lagi jajan jambu biji.
Saya memang lebih tertarik jajan combro daripada jajan jambu biji. Tapi saya sangat senang pada baunya yang wangi, apalagi ketika jambu biji itu mulai dimakan, serta merta akan mengeluarkan bau harum yang sangat khas. Teman-teman sering mengajakku untuk jajan jambu biji itu :”Ayolah Nien, kerumah jambu, kamu kok tak suka jambu sih, padahal jambunya manis sekali dan tak ada bijinya lagi..” rayu teman saya.
Sekali dua kali diajak saya tak tertarik, namun lama-lama saya kasihan pada teman saya yang mengajak saya. Akhirnya pada suatu istirahat siang, saya dan teman saya menuju kerumah jambu tersebut. Namun karena kesananya sudah terlambat, jambu yang dijual sudah habis. Teman saya sangat kecewa dan dengan lemasnya menggandeng tangan saya untuk balik kanan kembali ke sekolah, namun tiba-tiba yang empunya rumah berkata :”Mbak, sebentar, biar diambilkan jambu yang masih dipohon !”. Mendengar penuturan tuan rumah, teman saya girang bukan kepalang, sambil mulutnya terus menerus berterima kasih kepada yang empunya rumah. Saya tidak tertarik pada jambu yang mau dipetik oleh pemilik rumah. Saya lebih tertarik menikmati keteduhan rumah dengan berbagai tanaman buah yang ada disekeliling rumah jambu itu.
Dirumah itu banyak sekali ditanam pohon buah-buahan. Pohon jambu bijinya sangat banyak, sangat subur dan berbuah lebat. Kecuali pohon-pohon jambu biji, disana saya lihat banyak juga pohon jeruk yang buahnya sangat lebat hingga bergantungan menyentuh tanah. Buahnya sudah ranum menggiurkan, pasti sangat manis rasanya, sayang tidak dijual. Ada lagi pohon sirsak yang bergelantungan buahnya. Juga pohon nangka yang buahnya juga banyak. Sepertinya pemilik rumah bertangan dingin. Apa saja pohon buah-buahan yang ditanamnya semuanya berbuah lebat ! Rasanya ketika itu sedang berada di kebun buah-buahan, jadi sangat menyenangkan suasananya.
Saya mohon ijin ibu pemilik rumah untuk melihat-lihat berkeliling rumah, sementara teman saya sedang menunggui seorang anak laki-laki memanjat pohon jambu untuk memetikkan jambu untuknya.
Saya menyusuri sekeliling pinggir rumah, ditemani ibu pemilik rumah, yang kemudian hari ternyata akan menjadi ibu mertua saya. Tiba-tiba ketika tiba didekat suatu ruangan, dimana diluarnya ada semak belukar kecil tapi lebat, bulu kuduk saya merinding kencang. “Ada apa ya?” pikir saya…Tidak berapa lama, saya dikejutkan dengan adanya 2 buah peti besar berisi batangan-batangan emas yang ada didalamnya. Ukuran peti tersebut, panjangnya sekitar 2 meter dan lebarnya sekitar 1 meter, seperti almari, yang saya lihat secara goib, dan itu sangat nyata.
Saya hampir tak percaya akan apa yang saya lihat tersebut. Dan keheranan itu tak saya tanyakan kepada ibu pemilik rumah yang mendampingi saya menyusuri pinggiran rumahnya. Saya kaget dan senang sekali, ketika tiba-tiba ibu pemilik rumah memetikkan 4 buah jeruk keprok yang berukuran lumayan besar sudah masak dan diberikannya kepada saya seraya berkata :”Ini untuk mbake tak usah bayar ya?”. Pucuk dicinta, karena saya sedang membayangkan alangkah enaknya jeruk segar yang masak dipohon ini, sayang tak dijual, meskipun dijual sayapun tak mempunyai uang yang cukup untuk membelinya, pasti harganya lebih mahal dari sebiji combro.
Dari sekolah yang ada diseberang rumah jambu, terdengar lonceng berbunyi tanda bahwa waktu istirahat sudah habis. Kami berdua dengan tergopoh-gopoh lari kembali ke sekolah dengan membawa jambu dan jeruk yang belum sempat dimakan. Kami hampir saja terlambat. Bapak kepala sekolah yang kebetulan mengajar siang itu mengikuti kami memasuki ruangan dengan sudut matanya yang penuh tanda tanya karena kami membawa jambu dan jeruk kedalam kelas. Namun beliau tak menanyai apa-apa.
Sesudah itu pikiran saya terus tertumpu kepada penglihatan goib yang baru saja saya alami, saya bingung sendiri, kepada siapakah saya harus bertanya. Tentu semua orang akan mengatakan saya berbohong dan tidak percaya jika saya menceritakan hal ini. Siang hari itu saya sama sekali tidak bisa konsentrasi kepada pelajaran. Hingga saya pulang sampai dirumah, sehari, sebulan, bahkan bertahun-tahun saya selalu ingat peristiwa itu, namun saya tak berani menceritakan kepada seorangpun, termasuk kepada orang tua saya.
Hingga suatu saat beberapa puluh tahun kemudian, langkah kaki saya membawa saya untuk bersilaturahmi kerumah jambu itu. Namun kali ini saya bersama dengan seseorang yang saat ini telah menjadi suami saya. Saya sudah melupakan peristiwa ketika di SD dulu pernah melihat harta goib. Dan saya tidak menyangka bahwa calon suami saya adalah salah satu putra dari ibu pemilik rumah jambu itu.
Awalnya saya sangat pangling ketika pertama kali menginjakkan kaki dirumah jambu itu, karena ketika saya kesana lagi, sudah tidak ada satupun pohon buah-buahan yang nampak. Pohon jambu dan pohon jeruk yang dulu pernah saya lihat, waktu itu tak ada lagi.... Kanan kiri rumah yang terdiri dari pekarangan luas, saat itu terlihat tandus kesannya seperti tidak terurus.
Namun ada satu hal yang mampu mengingatkan saya pada kenangan lama itu. Ya rumah ini kan persis berada didepan SD saya dulu ? Dan SD saya masih tetap SD saya yang dulu, baik bangunannya maupun penataan lingkungannya tak ada yang berubah sama sekali, kecuali catnya yang diganti dengan warna putih. Waktu saya sekolah dulu, dindingnya bercat kuning gading.
Saya masih perlu mengembalikan ingatan beberapa lama, untuk mengenang masa kecil di Sekolah Dasar dulu, ketika tiba-tiba saya teringat kembali akan harta karun itu.
Ya benar, tidak salah lagi, ini adalah rumah jambu yang dulu itu. Keyakinan saya menjadi lengkap, ketika tiba-tiba calon suami saya keluar bersama seorang ibu. Ibu itu ya ibu yang dulu pernah memberi saya 4 buah jeruk keprok manis. Hanya sudah jauh lebih tua dan lebih kurus. Ketika kemudian saya ingatkan pada kenangan dulu, Ibu calon mertua saya rupanya sudah tidak ingat lagi bahwa dulu pernah memberi saya 4 buah jeruk.
Saya dipersilahkan masuk keruang tamu. Ruang tamunya ternyata cukup lebar didalamnya. Rumah berbentuk joglo dengan bangunan kayu jati utuh yang masih nampak kokoh meskipun sudah terbilang tua. Saya sudah tak sabar lagi untuk menelusuri kembali harta goib yang pernah saya lihat dulu. Calon ibu mertua saya masih penuh semangat ceritanya menyambut kedatangan saya untuk diperkenalkan oleh calon suami saya kepada beliau.
Ketika beliau sudah merasa cukup menyambut saya, maka beliau beranjak dari tempat duduknya menuju kedalam. Saya sudah tak mampu lagi menahan kesabaran saya untuk melihat-lihat sekeliling rumah seperti dulu pernah saya lakukan. Tiba-tiba saya tertarik untuk mendekat kearah jendela besar yang mempunyai teralis dari besi, yang terletak pada dinding sebelah kiri rumah.
Jendela rumahnya berukuran jumbo seperti rumah-rumah bangunan jaman belanda, meskipun bangunan rumahnya berbentuk joglo, namun jendelanya berbentuk jendela berarsitektur belanda. Lantainya terbuat dari lantai abu-abu yang sudah menjadi hitam mengkilap bersih menandakan yang empunya rajin memelihara rumah.
Saya terkesiap, ketika dari jendela melihat keluar, persis dibawah jendela masih ada semak belukar yang dulu membuat bulu kuduk saya berdiri. Kalau begitu, berarti harta itu berada diruangn ini.
Saya kemudian menenangkan diri, saya berjalan keluar ruangan untuk berwudhlu. Kebetulan dipojok depan rumah sebelah kiri ada keran air, sepertinya memang disediakan untuk tempat mencuci kaki diluar rumah. Setelah itu saya kembali masuk dan sesaat kemudian saya konsentrasi memohon kepada Allah SWT, agar diijinkan melihat kembali harta goib itu. Subhanallah… harta goib itu masih tetap ada disana, belum berpindah tempat. Keyakinan saya mulai tumbuh, bahwa harta goib itu memang ada !
Saya tidak segera memberitahu calon suami saya, saya tak mau gegabah dalam hal ini. Baru setelah beberapa lama menikah saya menyampaikan soal harta karun yang saya lihat dirumahnya. Suami saya tak percaya. Tapi tak menuduh saya mengada-ada. Hanya keheranan, apa iya dirumahnya ada harta karun? Sebab sudah bertahun-tahun seluruh anggota keluarganya tinggal dirumah itu, namun tak ada seorangpun yang pernah melihatnya.
Suami saya baru percaya, ketika adik kandung saya laki-laki namanya Pak Slamet bersilaturahmi kepada ibu mertua saya, ternyata ia melihatnya juga, bahkan secara spontan begitu melihat begitu berkomentar :”Loh Mas, disini kok ada banyak sekali harta karunnya, Ya Allah milik siapa ini ?”
Saya sangat kaget, ketika adik sayapun melihatnya. Karena sebelumnya saya tak pernah menyampaikan hal ini kepada adik saya. Bahkan adik saya lalu berkata kepada saya :”Mbak, mbok coba dimunajati, ini milik siapa, sayang lho kalau dibiarkan, kalau bisa dicairkan kan sangat bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak”. Adik saya walaupun mempunyai pemahaman tentang goib, namun tak berminat untuk mencairkannya karena merasa itu bukanlah haknya.
Tak berapa lama sesudah itu saya melakukan munajat sesudah sholat tahajjud, dan mendapat isyarah dari goib, bahwa harta goib itu adalah haknya suami saya, yang diberikan oleh nenek moyangnya yang dulu pernah menjadi prajurit di Kerajaan Majapahit.
Sejak saya menikah, saya sudah 4 kali didatangi ular naga goib yang sangat besar, lingkar tubuhnya ada sekitar 1 meteran, dan panjang sekitar 7 meter, berwarna hijau dengan kepalanya bermahkotakan emas, juga sirip yang ada di sepanjang punggungnya hingga ke ekornya berwarna keemasan.
Disamping naga raksasa itu selalu ada seorang putri sangat cantik yang memakai kebaya tipis warna hijau belalang. Putri itu selalu tersenyum kepada saya jika sedang datang. Sayapun berusaha membalas senyumnya dengan tulus. Siapapun dia, saya berkeyakinan diapun makhluk Allah SWT. Karena naga dan putri itu tak pernah mengusik ketentraman hidup saya, maka sayapun tak berusaha mengusiknya. Biarlah kami saling menghormati hak hidup masing-masing. Nantikan kisah selanjutnya dengan judul :”Pencairan Harta Karun Yang Pertama”
Semoga dapat menghibur Anda
Saya akan menceritakan kisah, ketika kecil dulu saya pernah melihat suatu harta karun. Dan ternyata kisah itu berlanjut hingga sekarang ini. Wallahua’lam…
Kejadiannya kurang lebih 50 tahun yang lalu ketika saya masih bersekolah di Sekolah Dasar. Jaman dulu tidak ada tukang jualan jajan yang berjibun seperti sekarang ini. Dulu satu-satunya makanan yang dijual di sekolah saya hanyalah ‘combro’ makanan dari singkong yang diparut, kemudian dalamnya diberi bumbu tempe yang agak pedas lalu digoreng. ‘Combro’ ini dijual oleh mbok Bon, isteri tukang kebon sekolah yang sangat telaten membuatnya setiap hari. Dan ini konon sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa pernah bosan.
Ketika lonceng istirahat berbunyi, anak-anak akan segera menyerbu ke tempat mbok Bon, takut tak kebagian combro. Tapi saya tetap santai, karena walau datang belakangan saya selalu kebagian combronya, dan anehnya mbok Bon tak pernah mau dibayar, alias gratis. Semula saya heran, mengapa mbok Bon tak pernah mau dibayar ? Selidik punya selidik, ternyata sebelumnya, Ibu saya sudah menitipkan uang kepada mbok Bon, jika sewaktu-waktu saya membeli combro. Ibu saya adalah guru SD dimana saya sekolah…pantas saja saya selalu gratis setiap kali membeli combro.
Kecuali combro yang dijual mbok Bon, didepan sekolah ada sebuah rumah yang kanan kirinya dipenuhi pohon jambu biji tapi tidak ada bijinya, yang buahnya dijual tiap hari. Setiap hari pemilik rumah selalu memetik jambu bijinya sebakul sedang. Jadi sebagian anak ada yang membeli combro dan sebagian lagi jajan jambu biji.
Saya memang lebih tertarik jajan combro daripada jajan jambu biji. Tapi saya sangat senang pada baunya yang wangi, apalagi ketika jambu biji itu mulai dimakan, serta merta akan mengeluarkan bau harum yang sangat khas. Teman-teman sering mengajakku untuk jajan jambu biji itu :”Ayolah Nien, kerumah jambu, kamu kok tak suka jambu sih, padahal jambunya manis sekali dan tak ada bijinya lagi..” rayu teman saya.
Sekali dua kali diajak saya tak tertarik, namun lama-lama saya kasihan pada teman saya yang mengajak saya. Akhirnya pada suatu istirahat siang, saya dan teman saya menuju kerumah jambu tersebut. Namun karena kesananya sudah terlambat, jambu yang dijual sudah habis. Teman saya sangat kecewa dan dengan lemasnya menggandeng tangan saya untuk balik kanan kembali ke sekolah, namun tiba-tiba yang empunya rumah berkata :”Mbak, sebentar, biar diambilkan jambu yang masih dipohon !”. Mendengar penuturan tuan rumah, teman saya girang bukan kepalang, sambil mulutnya terus menerus berterima kasih kepada yang empunya rumah. Saya tidak tertarik pada jambu yang mau dipetik oleh pemilik rumah. Saya lebih tertarik menikmati keteduhan rumah dengan berbagai tanaman buah yang ada disekeliling rumah jambu itu.
Dirumah itu banyak sekali ditanam pohon buah-buahan. Pohon jambu bijinya sangat banyak, sangat subur dan berbuah lebat. Kecuali pohon-pohon jambu biji, disana saya lihat banyak juga pohon jeruk yang buahnya sangat lebat hingga bergantungan menyentuh tanah. Buahnya sudah ranum menggiurkan, pasti sangat manis rasanya, sayang tidak dijual. Ada lagi pohon sirsak yang bergelantungan buahnya. Juga pohon nangka yang buahnya juga banyak. Sepertinya pemilik rumah bertangan dingin. Apa saja pohon buah-buahan yang ditanamnya semuanya berbuah lebat ! Rasanya ketika itu sedang berada di kebun buah-buahan, jadi sangat menyenangkan suasananya.
Saya mohon ijin ibu pemilik rumah untuk melihat-lihat berkeliling rumah, sementara teman saya sedang menunggui seorang anak laki-laki memanjat pohon jambu untuk memetikkan jambu untuknya.
Saya menyusuri sekeliling pinggir rumah, ditemani ibu pemilik rumah, yang kemudian hari ternyata akan menjadi ibu mertua saya. Tiba-tiba ketika tiba didekat suatu ruangan, dimana diluarnya ada semak belukar kecil tapi lebat, bulu kuduk saya merinding kencang. “Ada apa ya?” pikir saya…Tidak berapa lama, saya dikejutkan dengan adanya 2 buah peti besar berisi batangan-batangan emas yang ada didalamnya. Ukuran peti tersebut, panjangnya sekitar 2 meter dan lebarnya sekitar 1 meter, seperti almari, yang saya lihat secara goib, dan itu sangat nyata.
Saya hampir tak percaya akan apa yang saya lihat tersebut. Dan keheranan itu tak saya tanyakan kepada ibu pemilik rumah yang mendampingi saya menyusuri pinggiran rumahnya. Saya kaget dan senang sekali, ketika tiba-tiba ibu pemilik rumah memetikkan 4 buah jeruk keprok yang berukuran lumayan besar sudah masak dan diberikannya kepada saya seraya berkata :”Ini untuk mbake tak usah bayar ya?”. Pucuk dicinta, karena saya sedang membayangkan alangkah enaknya jeruk segar yang masak dipohon ini, sayang tak dijual, meskipun dijual sayapun tak mempunyai uang yang cukup untuk membelinya, pasti harganya lebih mahal dari sebiji combro.
Dari sekolah yang ada diseberang rumah jambu, terdengar lonceng berbunyi tanda bahwa waktu istirahat sudah habis. Kami berdua dengan tergopoh-gopoh lari kembali ke sekolah dengan membawa jambu dan jeruk yang belum sempat dimakan. Kami hampir saja terlambat. Bapak kepala sekolah yang kebetulan mengajar siang itu mengikuti kami memasuki ruangan dengan sudut matanya yang penuh tanda tanya karena kami membawa jambu dan jeruk kedalam kelas. Namun beliau tak menanyai apa-apa.
Sesudah itu pikiran saya terus tertumpu kepada penglihatan goib yang baru saja saya alami, saya bingung sendiri, kepada siapakah saya harus bertanya. Tentu semua orang akan mengatakan saya berbohong dan tidak percaya jika saya menceritakan hal ini. Siang hari itu saya sama sekali tidak bisa konsentrasi kepada pelajaran. Hingga saya pulang sampai dirumah, sehari, sebulan, bahkan bertahun-tahun saya selalu ingat peristiwa itu, namun saya tak berani menceritakan kepada seorangpun, termasuk kepada orang tua saya.
Hingga suatu saat beberapa puluh tahun kemudian, langkah kaki saya membawa saya untuk bersilaturahmi kerumah jambu itu. Namun kali ini saya bersama dengan seseorang yang saat ini telah menjadi suami saya. Saya sudah melupakan peristiwa ketika di SD dulu pernah melihat harta goib. Dan saya tidak menyangka bahwa calon suami saya adalah salah satu putra dari ibu pemilik rumah jambu itu.
Awalnya saya sangat pangling ketika pertama kali menginjakkan kaki dirumah jambu itu, karena ketika saya kesana lagi, sudah tidak ada satupun pohon buah-buahan yang nampak. Pohon jambu dan pohon jeruk yang dulu pernah saya lihat, waktu itu tak ada lagi.... Kanan kiri rumah yang terdiri dari pekarangan luas, saat itu terlihat tandus kesannya seperti tidak terurus.
Namun ada satu hal yang mampu mengingatkan saya pada kenangan lama itu. Ya rumah ini kan persis berada didepan SD saya dulu ? Dan SD saya masih tetap SD saya yang dulu, baik bangunannya maupun penataan lingkungannya tak ada yang berubah sama sekali, kecuali catnya yang diganti dengan warna putih. Waktu saya sekolah dulu, dindingnya bercat kuning gading.
Saya masih perlu mengembalikan ingatan beberapa lama, untuk mengenang masa kecil di Sekolah Dasar dulu, ketika tiba-tiba saya teringat kembali akan harta karun itu.
Ya benar, tidak salah lagi, ini adalah rumah jambu yang dulu itu. Keyakinan saya menjadi lengkap, ketika tiba-tiba calon suami saya keluar bersama seorang ibu. Ibu itu ya ibu yang dulu pernah memberi saya 4 buah jeruk keprok manis. Hanya sudah jauh lebih tua dan lebih kurus. Ketika kemudian saya ingatkan pada kenangan dulu, Ibu calon mertua saya rupanya sudah tidak ingat lagi bahwa dulu pernah memberi saya 4 buah jeruk.
Saya dipersilahkan masuk keruang tamu. Ruang tamunya ternyata cukup lebar didalamnya. Rumah berbentuk joglo dengan bangunan kayu jati utuh yang masih nampak kokoh meskipun sudah terbilang tua. Saya sudah tak sabar lagi untuk menelusuri kembali harta goib yang pernah saya lihat dulu. Calon ibu mertua saya masih penuh semangat ceritanya menyambut kedatangan saya untuk diperkenalkan oleh calon suami saya kepada beliau.
Ketika beliau sudah merasa cukup menyambut saya, maka beliau beranjak dari tempat duduknya menuju kedalam. Saya sudah tak mampu lagi menahan kesabaran saya untuk melihat-lihat sekeliling rumah seperti dulu pernah saya lakukan. Tiba-tiba saya tertarik untuk mendekat kearah jendela besar yang mempunyai teralis dari besi, yang terletak pada dinding sebelah kiri rumah.
Jendela rumahnya berukuran jumbo seperti rumah-rumah bangunan jaman belanda, meskipun bangunan rumahnya berbentuk joglo, namun jendelanya berbentuk jendela berarsitektur belanda. Lantainya terbuat dari lantai abu-abu yang sudah menjadi hitam mengkilap bersih menandakan yang empunya rajin memelihara rumah.
Saya terkesiap, ketika dari jendela melihat keluar, persis dibawah jendela masih ada semak belukar yang dulu membuat bulu kuduk saya berdiri. Kalau begitu, berarti harta itu berada diruangn ini.
Saya kemudian menenangkan diri, saya berjalan keluar ruangan untuk berwudhlu. Kebetulan dipojok depan rumah sebelah kiri ada keran air, sepertinya memang disediakan untuk tempat mencuci kaki diluar rumah. Setelah itu saya kembali masuk dan sesaat kemudian saya konsentrasi memohon kepada Allah SWT, agar diijinkan melihat kembali harta goib itu. Subhanallah… harta goib itu masih tetap ada disana, belum berpindah tempat. Keyakinan saya mulai tumbuh, bahwa harta goib itu memang ada !
Saya tidak segera memberitahu calon suami saya, saya tak mau gegabah dalam hal ini. Baru setelah beberapa lama menikah saya menyampaikan soal harta karun yang saya lihat dirumahnya. Suami saya tak percaya. Tapi tak menuduh saya mengada-ada. Hanya keheranan, apa iya dirumahnya ada harta karun? Sebab sudah bertahun-tahun seluruh anggota keluarganya tinggal dirumah itu, namun tak ada seorangpun yang pernah melihatnya.
Suami saya baru percaya, ketika adik kandung saya laki-laki namanya Pak Slamet bersilaturahmi kepada ibu mertua saya, ternyata ia melihatnya juga, bahkan secara spontan begitu melihat begitu berkomentar :”Loh Mas, disini kok ada banyak sekali harta karunnya, Ya Allah milik siapa ini ?”
Saya sangat kaget, ketika adik sayapun melihatnya. Karena sebelumnya saya tak pernah menyampaikan hal ini kepada adik saya. Bahkan adik saya lalu berkata kepada saya :”Mbak, mbok coba dimunajati, ini milik siapa, sayang lho kalau dibiarkan, kalau bisa dicairkan kan sangat bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak”. Adik saya walaupun mempunyai pemahaman tentang goib, namun tak berminat untuk mencairkannya karena merasa itu bukanlah haknya.
Tak berapa lama sesudah itu saya melakukan munajat sesudah sholat tahajjud, dan mendapat isyarah dari goib, bahwa harta goib itu adalah haknya suami saya, yang diberikan oleh nenek moyangnya yang dulu pernah menjadi prajurit di Kerajaan Majapahit.
Sejak saya menikah, saya sudah 4 kali didatangi ular naga goib yang sangat besar, lingkar tubuhnya ada sekitar 1 meteran, dan panjang sekitar 7 meter, berwarna hijau dengan kepalanya bermahkotakan emas, juga sirip yang ada di sepanjang punggungnya hingga ke ekornya berwarna keemasan.
Disamping naga raksasa itu selalu ada seorang putri sangat cantik yang memakai kebaya tipis warna hijau belalang. Putri itu selalu tersenyum kepada saya jika sedang datang. Sayapun berusaha membalas senyumnya dengan tulus. Siapapun dia, saya berkeyakinan diapun makhluk Allah SWT. Karena naga dan putri itu tak pernah mengusik ketentraman hidup saya, maka sayapun tak berusaha mengusiknya. Biarlah kami saling menghormati hak hidup masing-masing. Nantikan kisah selanjutnya dengan judul :”Pencairan Harta Karun Yang Pertama”
Semoga dapat menghibur Anda
Terima kasih atas kunjungan Anda di Blog ini. Semoga Anda beserta keluarga senantiasa sehat, sejahtera dan bahagia dalam lindungan Allah SWT. Amin Yaa Robbal'alamin.
Silahkan baca kelanjutannya disini !
Edisi Revisi, Purworejo, 15 Agustus 2024
Salam Sehat Sejahtera Selalu
Penulis NiniekSS
Labels:
Kisah Nyata
Thanks for reading Melihat Harta Karun. Please share...!
0 Komentar untuk "Melihat Harta Karun"